Ruang Opini

Budaya Sat-set Wat-wet Vs Alon-Alon Asal Kelakon

115
×

Budaya Sat-set Wat-wet Vs Alon-Alon Asal Kelakon

Sebarkan artikel ini
Sat set Wat Wet
Budaya Sat-Set Wat-wet Vs Alon-Alon Asal Kelakon

Hidup yang terburu-buru membuat kita rentan dengan isu mental health, baik itu stres, depresi, bahkan burnout. Maka, budaya apa yang harus kita jalankan dalam pekerjaaan kita supaya kualitas tetap terjaga?

Oleh Ichwan Arif, S.S., M.Hum., Wakil Kepala SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) GKB Gresik

Selawe.com – Sering kali kita mendengar orang bilang, “Sat-set wat-wet…” Bahasa gaul yang popular di kalangan muda ini secara umum menggambarkan kecepatan, ketangkasan, atau tindakan yang dilakukan dengan cepat dan efektif.

Tapi, kata ini juga bias untuk menggambarkan bagaimana kita harus menjadi manusia yang bergerak cepat di tengah dunia yang bising, hectic (sangat sibuk), dan kompetitif.

Budaya sat-set, wat-wet menjadi pilihan untuk dilakukan di tengah tsunami informasi. Ada banyak berita berseliweran di media sosial dan gawai kita, membuat hidup terasa makin bising. Hidup kita dikendalikan oleh berbagai informasi di mana semakin kita melakukan sesuatu, semakin kita akan mendapatkan perhatian publik. Akibatnya kita menjadi sangat sibuk.

Ketika kesibukan kita meraja, maka orang dituntut bergerak cepat dan terburu-buru. Makan terburu-buru, kerja terburu-buru, berbicara terburu-buru, bahkan shalat pun buru-buru.

Apakah hal ini memiliki dampak? Yes, hidup yang terburu-buru membuat kita rentan dengan isu mental health, baik itu stres, depresi, bahkan burnout (kondisi kelelahan emosional, fisik, dan mental yang disebabkan oleh stres berkepanjangan, terutama terkait pekerjaan).

Kalau sudah begini kita perlu merefleksikan budaya sat-set, wat-wet bagi hidup kita. Hasil menjadi tujuan utama, tetapi dalam prosesnya harus ada pertimbangan sehingga hasil bukan hanya hasil semata, tetapi kualitas menjadi tujuannya.

Jangan terburu-buru dalam menyelesaikan tugas, pekerjaan, tetapi mengesampingkan kualitas hasil. Maka budaya sat-set wat-wet perlu ditempatkan pada posisi semangat. Jika orang-orang dalam organisasi memiliki semangat yang sama, niat serupa, titik frekuensinya sejajar, maka apa yang ditargetkan bias selesai dengan mutu hasil terjamin. Bisa lebih produktif dan bernilai positif.

Ilustrasi
Budaya Sat-Set Wat-wet Vs Alon-Alon Asal Kelakon

Alon-Alon Asal Kelakon

Bagaimana dengan budaya alon-alon asal kelakon?

Ungkapan Jawa ini kalau kita sandingkan dengan sat-set wat-wet, pasti bertolak belakang. Ungkapan ini secara harfiah berarti pelan-pelan asal tercapai. Filosofi ini mencerminkan pandangan hidup masyarakat Jawa yang lebih menghargai proses daripada hasil instan.

Alon-alon asal kelakon mengajarkan tentang pentingnya menjalani proses dengan hati-hati dan sabar, meskipun membutuhkan waktu lebih lama, asalkan tujuan akhirnya tercapai. Ini bukan berarti malas atau menunda-nunda, tetapi lebih menekankan pada ketelitian, kehati-hatian, dan ketekunan dalam bekerja atau mencapai tujuan.

Hidup di era modern yang serba cepat, prinsip alon-alon asal kelakon tetap relevan. Dalam banyak hal, pendekatan yang hati-hati dan sabar dapat menghasilkan hasil yang lebih baik dan berkelanjutan. Misalnya, dalam membangun karir, memulai usaha, atau menyelesaikan masalah, pendekatan yang tenang dan terencana seringkali lebih efektif daripada terburu-buru.

Budaya mana yang lebih bagus manakala kita pakai sebagai rujukan semangat kita dalam bekerja? Kedua budaya itu sama bagusnya, kalau dilihat secara hakikatnya.

Memiliki budaya cepat dalam menyelesaikan tugas dengan pedoman kehati-hatian, penuh kesabaran, dan detail dalam melihat permasalahan yang timbul, bisa lebih bagus dalam upaya mutu hasil. Yang salah itu adalah, terburu-buru dalam menyelesaikan tugas dengan hasil kurang optimal dan lelet (tidak tepat waktu) dalam menyelesaikan target yang telah disepakati bersama.

Maka, budaya sat-set wat-wet dan alon-alon asal kelakon memang harus dipadukan dengan manajemen yang tepat biar hasil terbaik tetap menjadi tujuan utama. Dalam pekerjaan, kedua budaya itu memang harus dipola dalam manajemen komunikasi, review, waktu, dan mutu.

Secepat apapun pekerjaan dan pola cara menjalankannya perlu untuk terus dikomunikasikasi, dievaluasi, ketepatan waktu, dan kualitasnya. Maka, atasan dan bawahan dalam struktur pekerjaaan harus mampu menjalankan pola manajemen ini.

Budaya sat-set wat-wet dan alon-alon asal kelakon akan berjalan beriringan dalam orchestra manajemen yang baik. Sebaik apapun hasilnya, maka itu adalah produk dari manajemen yang baik pula. Atasan harus mampu tosser yang baik untuk bawahan, dengan begitu pekerjaaan bisa dijalankan sesesuai dengan arahan.

Kayaknya kita perlu mereview kembali, sudahkan kita sat-set wat-wet dengan pedoman kehati-hatian dalam menyelesaikan tugas kita. Atau malah kita belum bisa di salah satu poin utama tersebut? (*)