
Selawe.com – Pesan penting dari kisah perang badar disampaikan Syaiful Rizal, S.Pd.I dalam kegiatan Ngaji Tafsir Ibnu Katsir (Ngijir) yang diikuti guru dan karyawan SD Muhammadiyah 1 GKB, Rabu (12/3/25) pagi.
Pria yang akrab disapa Rizal itu awalnya menceritakan kisah perang badar yang merupakan peperangan pertama kali bagi kaum muslimin sekaligus momen penting kali pertama menerima perintah puasa Ramadhan di tahun ke-2 Hijriyah. Juga Allah SWT menunjukkan kebesaran-Nya pada saat itu.
Setelah membacakan Al-Anfal ayat 42, Rizal menjelaskan maksud ayat tersebut.
“Mereka dipertemukan dengan takdir Allah. Jika dihitung dengan hitungan manusia, itu tidak akan sampai di akal, itu urusan Allah, Allah menyuguhkan kebesaran-Nya,” tutur Rizal.
Rizal lalu ingat peristiwa penyerangan ka’bah yang dilakukan pasukan Raja Abraha. “Pernah dengar sejarahnya Abraha? Ka’bah itu milik Allah jadi yang menjaga dan menolong ya pemiliknya, Allah. Begitupun dengan islam,” jelasnya di Perpustakaan Al-Hikmah Mugeb
Ia kemudian melanjutkan ceritanya tentang perang badar berdasarkan Al-Anfal ayat 7-8 dan 43-44. Pada saat perang badar, kaum muslimin hanya punya delapan pedang, enam unta, dan dua kuda.
“Allah menampakkan mimpi kepada kaum muslimin melalui Nabi Muhammad SAW bahwa pasukan Abu Sofyan (kafir quraisy) jumlahnya tidak banyak,” terangnya.
Sebaliknya, kata Wali Kelas V Business ini, kafir quraisy juga diberikan mimpi yang nampak pasukan muslimin dengan jumlah yang banyak.
Lima Poin Penting
Dari kisah perang badar yang telah dia jelaskan, Rizal menggarisbawahi lima poin penting ciri orang-orang yang beriman. Ini sebagaimana dalam QS. Al-Anfal ayat 2-3.
Pertama, mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya. “Kita harus mengimani Allah. Iman harus benar-benar menancap di hati kita dan kita selalu berdzikir menyebut asmanya,” ajak Rizal.
Kedua, apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya. “Apabila dibacakan ayat-ayat perintah Allah, mereka segera mengerjakan. Apabila dibacakan ayat-ayat larangan, mereka segera meninggalkannya dan seakan-akan surga dan neraka itu tampak,” tuturnya.
Ketiga, hanya kepada Tuhan mereka bertawakal. “Kita pasrahkan semua urusan kita kepada Allah kalau sudah ikhtiar (berusaha) dan berdoa,” tambah bapak empat anak tersebut.
Keempat, orang-orang yang melaksanakan salat. “Yuqimunassholah, melaksanakan ma’al jamaah bukan sholat mufarid atau sendiri,” contoh pria yang berdomisili di Cerme itu.
Kelima, orang yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Allah berikan kepada mereka. “Ayo menginfakkan sebagian rizqi untuk agama dan orang yang membutuhkan. Itu yang menunjukkan tingkat keimanan kepada Allah, memperoleh kemulian derajat disisi Allah, ampunan dan rizki (nikmat) yang mulia,” tuturnya.
Kata guru Ismubaqu Mugeb School tersebut, ini sesuai QS. Al-Anfal ayat 4.
اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّاۗ لَهُمْ دَرَجٰتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌۚ
Artinya, “Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”
Tidak Tamak
Selepas perang badar, kata Rizal, kaum muslimin yang berkekuatan 313 pasukan muslim, 8 pedang, 6 baju perang, 70 ekor unta, serta 2 ekor kuda, akhirnya menang dalam peperangan. Mereka memperoleh 700 ekor unta, 300 ekor kuda, 600 baju perang dan persenjataan lengkap.
Para sahabat pun tergiur dengan hal tersebut. Namun para sahabat diingatkan oleh Rasulullah agar tidak berlaku tamak. “Bahwasanya harta rampasan perang (Ghanimah) adalah milik Allah sesuai QS Al-Baqarah 286,” ujarnya.
Begini bunyi ayatnya.
لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ
Artinya, “Milik Allahlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.”
Rasul Muhammad SAW kemudian membaginya menjadi lima bagian. Yaitu 1/5 pertama untuk Allah dan Rasul, 1/5 kedua untuk kerabat Nabi, 1/5 ketiga untuk anak yatim, 1/5 keempat untuk orang-orang miskin, dan 1/5 kelima untuk Ibnu Sabil.
Jadi, berikutnya Rizal berpesan, “Kita harus hidup sederhana, tidak tamak atau berlebihan, tidak silau dengan dunia,” pungkasnya. (*)
Penulis Mar’atus Sholichah Editor Sayyidah Nuriyah