Makna Cinta dalam Kehidupan di Film Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu

Film Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu
Film Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu
Film Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu

Film yang menggunakan latar Bukittinggi ini sangat kental dengan budaya Minang. Sadali mewakili budaya Minang bertemu Mera saat kuliah di ISI Yogyakarta. Di sinilah dia mengalami transformasi signifikan. Apa itu?

Selawe.comHidup Ini Terlalu Banyak Kamu adalah novel karya Pidi Baiq akan difilmkan. Karya tahun 2022 yang digarap Kunt Aguz ini menyuguhkan kisah tentang cinta dan mimpi.

Sinopsis Film

Film Hidup Ini Terlalu Banyak Kamu mengisahkan perjalanan Sadali, seorang pemuda asal Bukittinggi, Sumatera Barat. Dia bercita-cita untuk menjadi seorang pelukis dan berencana melanjutkan pendidikannya ke ISI Yogyakarta, jurusan Seni Rupa.

Sebelum berangkat, Sadali harus menjalani proses taaruf dan dijodohkan dengan seorang gadis dari desanya, Arnaza.

Proses taaruf Sadali dengan Arnaza berlangsung baik di kampung mereka. Keduanya sudah saling mengenal, sehingga perjodohan ini tampak tanpa kendala. Namun, saat Sadali beranjak ke Yogyakarta, ia dihadapkan pada tantangan baru.

Proses tersebut adalah simbol perubahan dari kehidupan yang nyaman di kampung ke dunia baru yang penuh dengan peluang dan godaan. Daya tarik antara mereka mulai mengalami pergeseran saat Sadali mulai merasakan cinta yang mendalam di kota baru.

Di Yogyakarta, Sadali mengalami transformasi yang signifikan. Dia kembali bertemu dengan sahabat lamanya, Budi, serta tinggal di sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai restoran dan galeri seni milik Mera, seorang wanita yang telah lebih berpengalaman dalam dunia seni.

Keberadaannya di lingkungan yang kreatif ini membangkitkan ketertarikan Sadali pada Mera, seorang wanita yang memiliki pemikiran dan pandangan hidup yang lebih luas. Cinta Sadali semakin berkembang, meskipun ia terjebak dalam dilema antara perasaannya terhadap Mera dan komitmennya pada Arnaza.

Baca juga: Penting Nggak Sih Literasi bagi Masyarakat

Karakter Utama

Sadali, diperankan oleh Ajil Ditto, adalah karakter yang penuh semangat dan impian. Sebagai seorang pelukis, dia membawa harapan untuk bisa mengekspresikan dirinya melalui seni. Kecintaannya pada seni memperlihatkan jiwanya yang sensitif.

Mera, diperankan oleh Adinia Wirasti, adalah karakter yang kompleks dan inspiratif. Dia bukan hanya seorang pemilik galeri seni, tetapi juga seorang aktivis seni yang berjuang dengan berbagai dilema dalam hidupnya.

Mera menghadapi stigma dan tantangan karena hubungan yang lebih matang dengan Sadali, seorang pria yang jauh lebih muda.

Arnaza, yang dibawakan oleh Hanggini, merupakan sosok yang memegang peranan penting dalam kehidupan Sadali. Dia adalah lambang rasa tanggung jawab dan tradisi yang dipegang teguh oleh masyarakat di kampung halaman.

Meskipun Sadali merasa terikat padanya karena proses taaruf, kedalaman emosionalnya yang berubah ketika menghadapi Mera menciptakan ketegangan dalam cerita.

Baca juga: Mengapa Sih, Sastra Korea Semakin Melejit

Tradisi Bukittinggi

Film ini menggambarkan dinamika hubungan yang kompleks, terutama antara Sadali, Mera, dan Arnaza. Setiap hubungan lebih dari sekadar cinta; ada lapisan emosi, harapan, dan tantangan yang harus dihadapi oleh setiap tokoh.

Penonton diajak untuk merasakan kerumitan yang dialami dalam dua cinta yang berbeda-satu berakar pada tradisi dan yang lainnya pada gairah dan pemahaman yang lebih mendalam.

Dengan menjadikan Bukittinggi menjadi latar asal cerita, film ini memberikan nuansa budaya Minang yang kental, menciptakan suasana nostalgia bagi penonton. Interaksi di kampung halaman menjadi gambaran keseharian yang menarik dan menggambarkan kekayaan budaya lokal yang dihadirkan dalam film ini.

Kisah ini berlatarkan tahun 1998, yang merupakan masa ketegangan sosial dan politik di Indonesia. Saat itu, perubahan sosial yang radikal sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk di Yogyakarta.

Latar belakang ini menciptakan nuansa ketidakpastian dan ketegangan yang menambah kedalaman cerita. Hubungan cinta yang dibangun dalam konteks ini menjadi semakin bermakna, sebagai simbol harapan di tengah pergolakan.

Ketegangan yang melanda Yogyakarta pada tahun 1998 berimbas pada semua karakter. Setiap keputusan yang diambil Sadali dan orang-orang di sekitarnya merefleksikan bagaimana keadaan sosial dan politik dapat memengaruhi pilihan pribadi.

Latar belakang yang kuat ini mampu menjadikan kisah cinta lebih dari sekadar romansa biasa, melainkan sebuah kisah tentang keinginan untuk merdeka dalam cinta dan hidup.

Film ini bukan hanya sekadar tontonan romantis, tetapi merupakan refleksi menggugah tentang cinta, pilihan, dan bagaimana setiap individu mengejar kebahagiaan dalam hidup yang sarat dengan berbagai tantangan. (*)

Penulis Ichwan Arif dari berbagai sumber

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *