
Selawe.com – Kita mau dikenal sebagai apa? Hanya sebagai anak pintar, anak populer, anak sukses? Atau kita ingin suatu saat ada orang yang berdoa kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, dia pernah menolongku ketika aku sedang jatuh, Alhamdulillah.” Mana yang lebih bernilai di sisi Allah?
Hal inilah disampaikan siswa SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) GKB Gresik kelas IX Fez Armilda Putri Athifa Earlene dalam kultum menjelang shalat dhuhur di Andalusia Hall, Kamis (28/8/25).
Armilda membuka kultum dengan pembuka berbahasa arab yang fasih dan dilanjutkan dengan menyampaikan tema kultum yaitu Pentingnya Menolong Orang yang Membutuhkan.
Pembawaan Armilda yang tenang dengan tatapan fokus ke rekan-rekan kelas IX menyiratkan percaya diri yang kuat.
“Saya ingin mengangkat kembali nilai-nilai kepedulian dan empati di tengah kehidupan modern yang cenderung individualistik. Dengan mengingatkan bahwa menolong sesama bukan hanya amal mulia, tetapi juga cara untuk menolong diri kita sendiri secara emosional dan spiritual, sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an dan teladan Rasulullah,” katanya.
Dia mengajak audiens untuk berpikir dengan menyampaikan. “Kalau boleh jujur, kita semua pasti pernah punya saat di mana kita merasa capek, stres, atau mood kita naik turun karena tugas, ekspektasi, atau tekanan lain. Betul kan? Rasanya kepala penuh, hati Lelah,” ucapnya.
Tapi, lanjutnya, tahukah teman-teman, bahwa menolong orang lain, misalnya hanya dengan bertanya, “Kamu baik-baik aja?” Itu bukan hanya bisa meringankan orang lain, tapi juga bisa menurunkan stres kita sendiri?” tanyannya.
Penelitian juga menunjukkan, sambungnya, orang yang suka membantu justru lebih bahagia dan lebih sehat. Jadi saat kita menolong, sebenarnya kita sedang menolong diri kita juga.
Armilda yang juga hobi memasak ini melanjutkan kultum dengan menunjukkan realita yang terjadi saat ini. Bahwa kita hidup di zaman di mana individualisme semakin meningkat. Semua orang sibuk dengan dirinya sendiri: sibuk dengan tugas, kegiatan, media sosial, sibuk mengejar target masing-masing. “Tidak salah, tentu saja.”
Tapi masalahnya adalah ketika kata “saya” jadi terlalu keras, sehingga kata “kita” perlahan hilang. Kita sering merayakan pencapaian di Instagram, tapi kadang kita lupa melihat teman di sebelah kita yang hanya butuh satu kalimat sederhana, “Kamu baik-baik aja?”
Menukil QS. Al-Ma’idah ayat 2 yang artinya, Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.
Dia melanjutkan menolong itu bukan cuma soal uang atau barang. Menolong itu juga memberi kekuatan. Kadang cukup dengan mendengarkan, kadang dengan mengingatkan tentang Allah, kadang hanya membuat seseorang merasa dia tidak sendirian.
Hadist yang diriwayatkan Ahmad yang berbunyi, Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Juga disampaikan sebagai penegasan bahwa perhatikan, beliau tidak mengatakan yang terkaya, terpintar, atau terpopuler. Rasulullah menyatakan yang paling bermanfaat. Jadi apa peran kita? Tidak perlu menunggu momen besar untuk jadi pahlawan.
Kita bisa mulai dari hal-hal kecil, tersenyum tulus, menanyakan kabar teman, berbagi ilmu, saling mengingatkan shalat, mendukung satu sama lain diam-diam dengan ikhlas dan serta merta memohon ridha Allah SWT.
“Dan yang paling penting: kita menolong bukan karena ingin dipuji orang, bukan supaya terlihat keren, tapi karena setiap kebaikan kecil, kalau ikhlas, akan dicatat Allah sebagai tabungan besar di akhirat,” tegasnya.
Sebelum mengakhiri kultum, Armilda membacakan surat Az-Zalzalah ayat 7 yang artinya, Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).
Bahkan kebaikan sekecil apa pun dihitung. Bisa jadi, kebaikan kecil yang kita lakukan, senyum, telinga yang mendengarkan, atau nasihat sederhana, meski bagi kita kecil, tapi bagi orang lain luar biasa. Dan bisa jadi itulah yang menjadi sebab Allah memasukkan kita ke dalam rahmat-Nya.
Dia mengakhiri kultum dengan memberi kesimpulan bahwa setiap kebaikan, sekecil apa pun, jika dilakukan dengan ikhlas, akan bernilai besar di sisi Allah SWT.
“Menolong sesama tidak harus selalu dengan materi, tapi bisa melalui perhatian, kepedulian, dan doa. Kita perlu berperan sebagai pribadi yang bermanfaat bagi orang lain, karena itulah ukuran kebaikan menurut Rasulullah. Nilai sejati hidup bukan diukur dari pencapaian pribadi semata, melainkan dari seberapa besar dampak kebaikan kita terhadap orang lain.”

Pemakaian Diksi
Ketua Umum IPM Spemdalas Arya Bima yang menyimak kultum Armilda dari shaf kelima mengaku kagum dengan kultum yang disampaikan Armilda.
“Bagus pak, penyusunan kata-katanya. Kayak di novel, tapi butuh dicerna dulu baru nggeh,” katanya.
Dia memaparkan, namun sedikit masukan dari Arya yaitu sebaiknya Lebih memakai diksi kata yang mudah dipahami teman-teman saja.
Senada dengan Arya, respon positif juga disampaikan oleh Ilmiyah, S.Pd yang saat itu bertugas menjadi pemandu kultum. “Amazing, sangat mendalam bagi saya. Tenang dalam menyampaikan dan jelas,” katanya,
Dia memberikan saran barangkali kepedeannya ditumbuhkan lagi, supaya lebih nyaman dalam menyampaikan. Tadi ada sedikit yang mbelibet, mungkin sedikit grogi,” katanya.
Proses Kreatif
Saat ditanya persiapan kultumnya, dia menjawab hanya H-1 dan proses tersebut saya gunakan untuk menentukan tema, menyusun alur pembahasan, mencari dalil-dalil pendukung dari Al-Qur’an dan hadits, serta menyesuaikan gaya bahasa agar bisa menyentuh hati pendengar.
“Saya latihan dengan visualisasi emosional yang dipadukan dengan pendekatan bercerita (storytelling) dan mengartikulasikan berulangkali,” ujarnya.
Dalam proses persiapan, lanjutnya, membayangkan situasi nyata di sekitar kita — misalnya, teman sekelas yang tampak baik-baik saja, padahal mungkin sedang menghadapi tekanan berat.
“Dari situ, saya mencoba membangun isi kultum dengan pendekatan yang menyentuh sisi emosional, menggunakan bahasa yang sederhana dan kisah-kisah yang relevan dengan kehidupan sehari-hari,” ucapnya.
Hal ini, lanjutnya, tujuann dari metode ini adalah agar pesan tentang pentingnya saling menolong dan menjadi pribadi yang bermanfaat dapat lebih mudah diterima dan menyentuh hati para pendengar.
“Dengan membayangkan perasaan audiens dan kondisi nyata yang mereka hadapi, saya merasa penyampaian kultum menjadi lebih tulus, menyentuh, dan berdampak,” paparnya.
Saat ditanya, siapa pendakwah favorit? Dia pun mengaku Ustadz Adi Hidayat. “Beliau dikenal karena kedalaman ilmunya, keluasan referensinya, serta cara penyampaian yang sistematis dan menyentuh hati. Saya pribadi merasa sangat terbantu memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits melalui penjelasan beliau yang lugas namun tetap menyentuh aspek spiritual,” tegasnya. (*)
Penulis M Nor Qomari. Editor Ichwan Arif.