Ruang Opini

Jadi Panglima Perang, Memimpin Itu Belajar dan Bertumbuh

92
×

Jadi Panglima Perang, Memimpin Itu Belajar dan Bertumbuh

Sebarkan artikel ini

Oleh Ain Nurwindasari, S.Th.I., MIRKH., Wakil Kepala Sekolah Bidang Ismuba Spemdalas

Selawe.com – Bagaimana menjalankan kepemimpinan yang baik? Seorang pemimpin sejatinya sedang mengemban tantangan yang tidak mudah, apalagi jika kepemimpinan yang dipegang itu berskala besar.

Sebuah kepemimpinan bahkan bisa menjadi ujian yang sangat menentukan nilai seseorang. Orang yang awalnya terlihat baik dan sabar, ternyata ketika mendapat amanah menjadi pemimpin, bisa terlihat diktator dan sulit mengendalikan emosi. Sebaliknya, ada orang yang ketika belum menjadi pimpinan terlihat biasa saja, namun kewibawaannya justru muncul saat diberi amanah.

Lantas, apa dan bagaimana sesungguhnya seni memimpin itu?

Menjadi pemimpin, terutama di sebuah lembaga yang tidak bisa dibilang kecil, tentu membutuhkan kesiapan tersendiri. Ibarat orang yang akan berperang, seorang pemimpin harus menjadi panglima yang memiliki keterampilan dan persenjataan yang memadai.

Pertama, seorang pemimpin harus memahami visi dan misi organisasi. Pemimpin yang tidak memahami visi dan misi organisasi akan sulit menentukan langkah yang akan diambil. Seperti menyusun program, memilih tim dan anggotanya, serta menyusun strategi agar programnya berhasil.

Selanjutnya, sangat penting untuk memahami tantangan yang sudah dan mungkin akan terjadi dalam menjalankan kepemimpinannya. Jika ia bukan orang pertama yang memimpin organisasi tersebut, ia bisa belajar dari kepemimpinan sebelumnya yang telah berjalan. Setelah itu, ia dapat mengeliminasi hal-hal yang tidak diperlukan untuk dijalankan pada periode kepemimpinannya.

Memilih anggota yang bisa diajak menjadi tim yang solid juga merupakan bagian yang tidak bisa dikesampingkan. Meskipun tidak ada tim yang sempurna karena manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, kita bahkan boleh memilih orang-orang yang kita sukai asalkan kompeten. Meski terdengar agak nepotisme, ini merupakan nepotisme yang dibenarkan, asalkan kita tidak memiliki kepentingan pribadi dalam memilih tim ini.

Dalam memimpin, kita juga akan belajar mengasah keterampilan komunikasi, baik secara vertikal maupun horizontal. Ini berarti berkomunikasi dengan atasan langsung, bawahan, dan bidang-bidang lain.

Nah, kita juga akhirnya melatih diri untuk tidak asal bicara. Kata-kata pemimpin bahkan dianggap sebagai sabda. Ketika sebuah kesalahan terjadi, yang paling bertanggung jawab adalah pemimpin karena dialah yang memberikan arahan dan menyetujui apa yang telah diajukan oleh timnya.

Terkadang kita juga harus menekan ego ketika berhadapan dengan situasi yang menekan kita untuk menunjukkan rasa tanggung jawab sebagai pemimpin. Meskipun kadang sebagai pemimpin, bukan kita yang tertua, kepemimpinan menumbuhkan sikap kedewasaan yang menjadikan kita memahami arti mengalah, mengarahkan, dan mengayomi bawahan.

Saat menghadapi kesalahan bawahan, kesabaran dan ketelatenan menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah. Terkadang kita harus memaksakan diri menjadi pelatih, padahal kita sendiri belum benar-benar ahli dalam menghadapi sebuah situasi. Ketegasan tentu diperlukan, namun prioritaskan untuk memahami akar kesalahan itu dan bagaimana mencegahnya agar tidak terulang di kemudian hari.

Terakhir, kerendahan hati adalah jati diri yang terus ditumbuhkan. Tidak jarang kita dihormati, kata-kata kita sangat didengar, dan kepentingan kita seringnya didahulukan.

Merasa lebih itu wajar, namun ketika kerendahan hati kita hilang, tidak ada keinginan untuk belajar. Bahkan yang paling fatal adalah selalu merasa benar dan sulit meminta maaf ketika memang kesalahan itu murni dari kita. Ingatlah, seorang pemimpin sejatinya adalah manusia biasa yang harus terus belajar. (*)

Editor Sayyidah Nuriyah