
Pengadilan Islam di Indonesia melemah seiring dengan runtuhnya kerajaan Islam atau merosotnya peradaban Islam di dunia Islam.
oleh: F. Risallah, Dosen Islamic Studies di Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG)
Selawe.com – Kemunculan Pengadilan Agama di Indonesia demi memenuhi kebutuhan umat Islam di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru dilihat dari sudut pandang sistem peradilan.
Dari seluruh kerajaan-kerajaan Islam yang ada di nusantara, mulai dari Kerajaan Aceh di sebelah barat dan Kerajaan Ternate di sebelah timur, telah menjalankan peradilan Islam yang menerapkan hukum Islam (syarī’ah) sebagai landasan bagi umat Islam atau pihak lain yang memutuskan suatu perkara untuk dilaksanakan sesuai dengan syariah.
Yurisdiksi peradilan Islam pada saat itu tidak hanya terbatas pada perkara pidana saja, tetapi juga mencakup perkara perdata dan lain-lain. Misalnya, ada acara-acara seperti penyelidikan, persidangan, dan pengumuman kasus pidana yang dilakukan oleh Wali Songo (sembilan orang suci) di Kerajaan Demak Jawa Tengah.
Pengadilan Islam di Indonesia melemah seiring dengan runtuhnya kerajaan Islam atau merosotnya peradaban Islam di dunia Islam.
Ironisnya, hampir semua negara yang pengadilannya pernah menerapkan hukum syariah harus menghapuskan dan menghilangkan penerapan hukum syariah di pengadilan nasional dan seterusnya.
Dalam kasus Indonesia, meskipun belum sepenuhnya dihilangkan, yurisdiksinya masih harus dibatasi hanya pada kasus perdata. Memang, karena alasan tertentu, masyarakat hanya bisa mengakui Pengadilan Islam sebagai pengadilan yang memproses perkawinan, perceraian, dan rujuk pasangan suami istri yang bermasalah.
Selain karena dekadensi peradaban Islam, kemunduran peradilan Islam khususnya di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, jatuhnya kerajaan-kerajaan Islam karena ketundukan dan para penakluk memaksakan sistem hukumnya dan memaksakan tradisinya, dalam hal ini adalah hukum negara jajahan Belanda.
Kedua, proses sekularisasi bahwa Islam harus dipahami hanya sebagai relasi Tuhan dan manusia dalam spiritualitas bukan dalam ranah publik. Terlebih lagi, Islam dipahami sebagai kebutuhan individu, bukan tanggung jawab sosial.
Ketiga, proses westernisasi. Proses ini didukung baik untuk kepentingan kolonialis yang mencoba membatasi masyarakat dari agama maupun untuk kekaguman terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi barat.
Prinsip utamanya adalah memisahkan agama dari negara (scheiding van kerk en staat). Hal ini menyiratkan pemisahan agama dari kehidupan sosial demi memajukan kehidupan modern.
Keempat, salah tafsir terhadap praktik hukum syariah. Sayangnya dalam praktiknya digambarkan melalui hukuman rajam (rajam/cambuk), potong tangan, dan pemenggalan kepala.
Kelima, hukum adat setempat digalakkan dan ditegakkan dalam segala aspek kehidupan dibandingkan hukum syari’ah kecuali dalam persoalan perkawinan.
Keenam, tidak seimbangnya keberadaan pengadilan syariah dibandingkan dengan pengadilan sekuler.
Ketujuh, kurangnya perhatian pemerintah terhadap peradilan Islam. Pada masa kolonial Belanda, merupakan bagian dari pendirian politik mereka untuk membatasi peran Pengadilan Islam. Sistem politik yang dijalankan (scheiding van kerk en staat) membatasi eksekusi yang dilakukan oleh pengadilan Islam hanya setelah adanya perintah eksekusi yang dikeluarkan oleh pengadilan umum.
Peradilan Islam
Faktor-faktor tersebut di atas merupakan alasan yang dapat dibenarkan atas runtuhnya peradilan Islam. Sementara itu, berkat dukungan segelintir pihak yang peduli terhadap permasalahan ini, keberadaan Pengadilan Agama dapat tetap bertahan meski yurisdiksinya terbatas.
Walaupun masih dapat dipertahankan, namun sayangnya hingga tahun 1970-an belum ada pembenahan kecuali adanya standarisasi struktur organisasi peradilan Islam dan sejajar namanya dengan peradilan umum.
Sejak diundangkannya Kitab Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 oleh pemerintah pada masa pemerintahan presiden Soeharto, telah terjadi reformasi di tubuh peradilan Islam yang dilakukan dengan undang-undang ini setidaknya memuat dua prinsip pokok di dalamnya yaitu: (1) menegaskan bahwa Peradilan Agama merupakan bagian dari peradilan negara di samping tiga peradilan lainnya, yaitu peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan dagang. (2) penghapusan fiat eksekusi oleh pengadilan umum terhadap putusan pengadilan Islam.
Sebagaimana yang telah dipaparkan mengenai sistem eksekusi fiat, hal ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa sistem tersebut merupakan wujud inferioritas janji peradilan Islam terhadap peradilan umum.
Inferioritas ini sangat berdampak pada munculnya peradilan Islam, walaupun saat ini sudah semakin berkurang.
Disadari atau tidak, penampilan hakim Pengadilan Agama menyiratkan inferioritas fisik dan intelektual dibandingkan hakim umum, hal ini dapat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan kedua hakim tersebut.
Hakim pengadilan negeri yang berorientasi kota, disimbolkan sebagai hakim yang modern bahkan kebarat-baratan.
Sebaliknya, sebagian besar hakim Pengadilan Agama pada kenyataannya berasal dari latar belakang pendidikan tradisional yang secara tidak langsung mempengaruhi kinerja mereka.
Setelah sistem pendidikan di lembaga peradilan Islam diubah menjadi sistem pendidikan modern, hakim pengadilan Islam telah mengalami perbaikan yang signifikan.
Namun, terjadi kesalahan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang seolah-olah mengatur ulang sistem eksekusi fiat. Untuk menghapuskan KUHP ini, Peraturan Negara No. 9 Tahun 1975 menjelaskan tentang wajibnya KUHP sebagai fungsi administratif dan untuk menghilangkan anomalinya, KUHP No. 7 Tahun 1989 lebih menekankan independensi peradilan Islam.
Meskipun Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 telah memberikan prinsip-prinsip pengembangan peradilan Islam, namun masih belum ada perubahan yurisdiksi dan kompetensi peradilan Islam. Fungsinya sebagai pengadilan perkawinan, perceraian, dan rujuk.
Bersifat Konstitusional
Perubahan wilayah hukum ini tampak nyata sejak dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 yang meliputi perceraian, pengesahan anak, hak asuh, penegasan keturunan, dan surat nikah.
Selain itu, perubahan yang lebih nyata terjadi pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, pada pasal 49 disebutkan bahwa kewenangan peradilan Islam (perkawinan, warisan, wasiat, hibah, hibah, dan sedekah) dijabarkan di dalamnya menjadi 22 kompetensi.
Dalam perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 21 Februari 2006 yang lalu, kewenangan yang diatur dalam pasal 49 diperluas menjadi sembilan jenis (perkawinan, warisan, wasiat, hibah, hibah, sedekah, belanja, zakat, dan ekonomi syariah).
Tambahan baru di dalamnya adalah zakat, infaq dan ekonomi Islam. Selain rincian 22 jenis tersebut yang disusun dalam penjelasan, diurai pula mengenai “Ekonomi Islam” yang tercakup dalam sebelas kompetensi (perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, dana garda syariah, obligasi syariah dan kewajiban jangka menengah syariah, surat berharga syariah, biaya syariah, gadai syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah).
Berbagai macam perkembangan yang disebutkan di atas, yang paling mendasar adalah pengaturan peradilan Islam dan peradilan lainnya dalam konstitusi. Oleh karena itu, tidak akan ada perdebatan lagi mengenai hadirnya peradilan Islam dalam sistem peradilan kita.
Peraturan peradilan Islam bersifat konstitusional. Penghapusannya hanya mungkin terjadi jika amandemen konstitusi terjadi, sesuatu yang sulit dibayangkan akan terjadi. Perkembangan lain yang perlu mendapat perhatian lebih adalah hadirnya peradilan Islam di Nangroe Aceh Darussalam, yang kompetensinya mencakup beberapa perkara pidana tertentu.
Perkembangan tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi. Untuk memenuhi segala perkembangan tersebut, diperlukan peningkatan kualitas sumber daya, khususnya sumber daya manusia, dan sumber daya manajemen, termasuk fasilitas untuk mewujudkannya; kapasitas kerja Pengadilan Agama dapat bekerja sesuai dakwaan baru.
Hal ini diwujudkan dalam proses pembinaan hakim Peradilan Islam secara individual dengan mengikuti studi lanjutan disiplin ilmu Hukum di beberapa universitas dalam dan luar negeri.
Namun kesempatan ini hanya diberikan kepada mereka yang bertugas di kota dan tidak diberikan kepada mereka yang berada jauh dari pusat pendidikan.
Selain itu, dengan meningkatkan kualitas hakim, diharapkan dapat tercipta norma hukum baru sehingga kebutuhan hukum yang bersifat dinamis dapat terpenuhi.
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa sejak perubahan Undang-undang Indonesia pada tahun 2001, keberadaan peradilan Islam dan peradilan lainnya sudah diatur secara eksplisit di dalamnya.
Oleh karena itu, pembentukan peradilan Islam merupakan tanggung jawab konstitusional dan wajib. Melalui pengadilan Islam, negara – dalam hal ini pemerintahan yang berkuasa – memerintahkan untuk menerapkan syariah dalam aspek hukum tertentu berdasarkan undang-undang yang disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal ini merupakan amanah yang harus dijalankan oleh Pengadilan Agama untuk membuktikan, meskipun dalam aspek hukum tertentu, bahwa syariat adalah rahmat Tuhan bagi seluruh umat manusia tanpa membeda-bedakan agama, ras, budaya, dan lain-lain.
Hal ini juga merupakan penegasan bahwa hukum Islam yang diwujudkan dalam wilayah peradilan Islam mempunyai peranan yang sangat penting dalam penerapan syariat di Indonesia walaupun dengan porsi yang kecil.
Sejak Peradilan Islam ditempatkan dalam satu departemen dengan Peradilan Umum, maka terjadi pergeseran sistem organisasi Peradilan Islam, seperti:
- Segala sesuatu yang berkaitan dengan organisasi manajerial, administrasi, dan keuangan dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
- Perubahan fungsi Direktorat Peradilan Islam menjadi Direktorat Jenderal Peradilan Islam memberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengembangkan peradilan Islam.
- Perubahan sistem rekrutmen calon hakim. Selama ini, calon hakim Pengadilan Agama berasal dari pegawai yang ada di lingkungannya. Karena di satu tempat pemerintahan, perekrutan pegawai baru kini disamakan dengan peradilan umum dan peradilan dagang. Selain itu, sistem regulasi baru ini terbuka bagi lulusan baru dengan sedikit pelatihan yang perlu mereka adaptasi.
- Pengadilan mengelola keuangannya sendiri meskipun pertimbangannya tahunan di bawah Mahkamah Agung.
- Standarisasi tata cara mutasi dan promosi sama dengan lembaga peradilan lainnya.
- Telah diajukan pertimbangan kepada Direktorat Jenderal Peradilan Islam untuk pembangunan gedung sidang, pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lain.
- Pembinaan hakim Pengadilan Agama dapat dilakukan bersama-sama dengan lembaga peradilan lainnya sehingga dapat terjadi saling tukar pengetahuan antarhakim.
Seperti beberapa negara di dunia, Indonesia juga pernah mengalami dominasi langsung oleh kekuasaan kolonial, yang sistem hukumnya dipengaruhi oleh sistem hukum kolonial.
Hal ini berdampak pada masyarakat Islam yang mempunyai sistem hukum tersendiri yang berdasarkan hukum Islam.
Oleh karena itu, kita telah menyaksikan dua sistem peradilan yang berbeda diwujudkan dalam pengadilan Islam dan pengadilan negara sekuler.
Berbeda dengan negara-negara Islam lainnya yang belum mengalami kontak langsung dengan kekuatan kolonial sehingga terbebas dari sistem hukum asing.
Misalnya saja Arab Saudi yang dianggap tradisional dalam artian berpegang teguh pada al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad Saw sebagai pedoman suci dalam hidup.
Secara umum, peradilan Islam di Indonesia yang semisekuler mewujudkan sistem hukum Islam. Meskipun dengan keterbatasan dan kekurangannya, sejauh ini lembaga ini telah memainkan peran penting dalam membangun negara ini dan masih memerlukan banyak perbaikan untuk mencapai pengadilan Islam yang lebih otonom dan independen dibandingkan dengan pengadilan sekuler. (*)
Editor Ichwan Arif.