
Fenomena doom spending sedang menjamur. Menghabiskan uang secara impulsif tanpa repot dan tanpa berpikir panjang hingga pengeluaran untuk hal-hal yang tidak terlalu diinginkan.
Selawe.com – Peristiwa politik, krisis ekonomi global yang mengubah kondisi perekonomian dunia dan perkembangan teknologi di setiap masa akan melahirkan generasi yang berbeda dengan kekhasannya masing-masing.
Pengelompokan generasi dapat dipergunakan untuk banyak keperluan diantaranya untuk kepentingan bisnis, memudahkan penyedia barang maupun jasa dalam memetakan arah kebijakan agar produk dan jasa dapat diterima pasar sesuai dengan perilaku generasi masing-masing.
Terdapat beberapa generasi yang dikenal beserta tahun mereka dilahirkan, namun demikian batasan tahun kelahiran ini tidak mutlak sebagai pembeda antar masing-masing generasi,
1. Generasi Tradisional/Silent Generation (1922-1945)
2. Generasi Baby Boomers/Disiplin Tinggi (1946-1964)
3. Generasi X atau Sandwich (1965-1980)
4. Generasi Y/Milenials/Individual (1981-1996)
5. Generasi Z/Zilenials/Strawbbery (1997-2012)
6. Generasi Alpha (2013 s.d. sekarang)
Seperti kita ketahui sebagai generasi usia produktif saat ini, generasi milenial dan generasi zilenial, di mana rentang usia generasi milenial dari 28 s.d. 43 tahun, dan generasi z antara 12 s.d. 27 tahun.
Merekalah yang saat ini rentan terhadap dampak makro ekonomi global, geopolitik dunia dan potensi perang antar negara serta perkembangan teknologi terkini.
Baca juga: Hantu Itu Bernama Literasi
Doom Spending
Kondisi makro ekonomi dunia, potensi perang antarnegara yang melibatkan negara-negara besar dan perkembangan teknologi yang pesat setidaknya mengubah pola berpikir dalam berinteraksi sosial ekonomi.
Ditunjang keberadaan gadget yang mempermudah segalanya, termasuk dalam mengakses Buy Now Pay Later (BNPL) melalui smartphone, menjadikan kedua generasi di atas mudah melakukan over spending hingga berpotensi masuk ke dalam jurang kemiskinan.
Menghabiskan uang secara impulsif tanpa repot dan tanpa berpikir panjang hingga pengeluaran untuk hal-hal yang tidak terlalu diinginkan, aktivitas ini disebut doom spending.

Hindari Budaya Berhutang
Beli sekarang bayarnya nanti, sepertinya sangat membantu dengan mempermudah aktifitas belanja, melalui pinjol, kartu kredit, dompet digital, trabsaksi scan barcode, langganan berbayar, judol, staycation dan lain-lain yang pembayarannya by online, dengan alasan self reward.
Menurut penulis yang mantan bankir, pernah berkecimpung dalam mengelola lending maupun funding perbankan, sebaiknya berhutang hanya untuk memenuhi kebutuhan produktif seperti berwirausaha dan berinvestasi, bukan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif apalagi konsumtif yang tidak primer seperti staycation dengan berhutang.
Baca juga: Kala ‘Tanah Air’ menjadi Penawar Kekalahan
Kalaupun terpaksa harus berhutang, pastikan ada sumber dana untuk membayar dengan besaran angsuran maksimal 30% dari gaji bulanan.
Dalam mengelola keuangan, pada saat klunthing gaji bulanan atau penghasilan, segera pisahkan untuk bayar kewajiban bulanan seperti bayar tagihan listrik, air, gas, wifi, paket internet, sewa rumah atau kost, kebutuhan mandi, perawatan diri, makan, kebutuhan rumah tangga lainnya dan lain-lain yang sifatnya rutin. Sisihkan 30% untuk tabungan/investasi, sisanya dapat dipakai untuk keperluan lainnya/self reward.
Anggaran belanja dan pengeluaran tidak boleh melebihi pendapatan, jangan sampai besar pasak daripada tiang.
Manajemen Investasi
Sisihkan 30% gaji atau pendapatan untuk saving, investasi dan asuransi kesehatan demi membangun masa depan yang lebih baik.
Utamakan berinvestasi sebelum menabung agar gain/margin yang diperoleh lebih besar, sehingga aset yang dimiliki bertambah, dengan berinvestasi saham, logam mulia, obligasi, reksadana dan lain-lain.
Asuransi kesehatan untuk meminimalisir terkurasnya rekening/aset apabila sakit dan harus bayar biaya dokter dan rumah sakit/fasilitas kesehatan.
Demikian sekilas doom spending dan dampaknya terhadap generasi milenial/generasi zilenial. (*)
Penulis Nanang Bagus Setiawan. Editor Ichwan Arif.