Liputan

Mendidik Anak sebagai Tahanan, Apa Itu?

94
×

Mendidik Anak sebagai Tahanan, Apa Itu?

Sebarkan artikel ini
Smart Parenting
Intan Erlita M.Psi. Psikolog menyampaikan materi Smart Parenting: Mencegah Anak Terjebak dalam Toxic Relationship di Masa Pubertas dalam Parenting Education IKWAM Spemdalas, Kamis (15/5/25)

Mendidik sebagai tahanan? Apakah harus dikekang? Atau diawasi? Inilah yang disampaikan Intan Erlita, M.Psi., Psikolog dalam Parenting Education yang dilaksanakan Ikwam Spemdalas

Selawe.com – Cara efektif menerapkan pola asuh menjadi bahasan utama Parenting Education yang dilaksanakan Ikatan Wali Murid Muhammadiyah (Ikwam) SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) GKB Gresik di Ballroom Aston Inn Gresik, Kamis (15/5/2025).

Sebagai pemateri kegiatan, Intan Erlita, M.Psi., Psikolog membahas tema Smart Perenting: mencegah Anak Terjebak dalam Toxic Relationship di Masa Purbertas dengan bertanya dihadapan 250 Wali siswa kelas VII, VIII, dan IX Spemdalas.

“Menjadi orang tua itu tidak ada sekolahnya, tapi ujiannya kapan ya ibu-ibu, weekly, monthly, atau tiap detik?” tanya Ibu empat anak ini.

Seperti yang bapak ibu tahu bahwa, lanjutnya, konsep mendidik secara Islam terbagi dalam rentang 7 tahunan. “Nah, anak-anak usia SMP masuk pada tahap kedua, yaitu sekitar usia 7-14 tahun. Saat inilah mendidik anak sebagai tahanan,” jelasnya.

Lebih lanjut dijelaskan Intan bahwa yang dimaksud tahanan ini adalah bahwa bapak ibu harus memegang aturan. “Agama adalah aturan yang harus dilaksanakan. Tidak ada ruang negoisasi dalam menjalankan aturan,” tambahnya.

Dia menuturkan, di sekolah sudah menanamkan good habit, terutama dalam melaksanakan shalat. Hal ini juga seharusnya tetap diusahakan di rumah, ibu-ibu. Kita harus effort, jika sudah azan kita segera beranjak untuk shalat. Kita juga harus menjadi contoh. Karena anak akan melihat, mendengar, dan meniru orang tuanya.

Dalam lingkaran pertemanan, tegasnya, seorang remaja bisa terjebak dalam lingkungan yang toxic karena berbagai hal. Seperti pencarian identitas dan ingin diterima dalam kelompok tertentu sehingga mereka mau dan rela melakukan hal-hal tertentu.

Kurangnya pengetahuan terkait hubungan romantis juga perlu diperhatikan. Orang tua perlu memahami kebutuhan anak. Seorang anak laki-laki perlu disentuh fisiknya dengan sentuhan yang menunjukkan respek dan pujian.

“Dengan demikian, akan muncul naluri untuk melindungi. Sebaliknya, anak perempuan perlu terus dipuji dan diangkat citra dirinya sehingga dia tidak akan mudah tergoda dengan pujian dan rayuan,” jelasnya.

Pengaruh media sosial, teman sebaya dan kurangnya harga diri yang stabil adalah faktor berikutnya. “Anak-anak yang kurang mendapatkan validasi kemudian mencarinya secara eksternal. Saat ini banyak ya tren -tren yang berkembang yang tanpa disadari dapat menurunkan harga diri mereka.”

Hal-hal di atas kemudian diperparah dengan ketidakmampuan anak untuk mengidentifikasi lingkungan yang toxic karena mereka merasa takut kesepian atau merasa tidak ada yang menerima mereka.

“Dalam kondisi ini orang tua harus smart. Kita perlu manfaatkan teknologi dengan cara mengambil info-info ter-update sebagai bahan dalam berkomunikasi sehat dengan anak-anak,” ucapnya.

Dia mengatakan, zaman telah berubah. Anak-anak kita tumbuh di dunia saat sesuatu yang tidak normal dinormalkan. Sebaliknya, yang normal dianggap tidak normal. Oleh sebab itu, orang tua perlu membuka komunikasi yang sehat dengan anak.

“Saya yakin ibu-ibu sudah banyak yang tahu bahwa saat paling tepat untuk menasihati anak adalah saat makan. Kenapa?” tanyanya.

Smart Parenting Spemdalas
Intan Erlita M.Psi. Psikolog menyampaikan materi Smart Parenting: Mencegah Anak Terjebak dalam Toxic Relationship di Masa Pubertas dalam Parenting Education IKWAM Spemdalas, Kamis (15/5/25)

Lidah adalah tempat mengecap berbagai rasa. Ketika timbul rasa di lidah, muncul hormon serotonin dan endorfin. Hormon inilah yang akan membuat anak merasa enjoy sehingga otak menutup dan qalbu membuka.

Nasihat tidak disampikan untuk logika karena kecenderungan logika adalah mendebat. Anak membantah karena yang kita ajak bicara adalah otak, logikanya.

Berbeda dengan menasihati. Saat memberi nasihat, kita berbicara dengan qolbu anak. Maka berbicaralah  dari hati ke hati kepada anak kita.

“Ini adalah tugas orang tua, ya bapak ibu. Kita perlu banyak mendengar dengan empati dan tanpa menghakimi, memberikan informasi dari perspektif yang berbeda-beda, menawarkan bantuan, atau dapat menggunakan tenaga profesional jika diperlukan,” tuturnya.

Anak-anak, sambunya, perlu terus kita latih untuk mampu memilih jalan yang baik. Tak ada salahnya jika bapak ibu sampaikan bahwa bapak ibu ingin kembali berkumpul kembali dengan mereka di surga.

Sebelum menutup materinya, Intan menyampaikan bahwa smart parenting adalah kunci. Ajarkan anak tentang harga diri, agar anak belajar menghargai dirinya sendiri dan tidak mudah menerima perlakuan yang merendahkan.

“Yang paling penting adalah bahwa kesuksesan bapak ibu sebagai orang tua adalah saat jiwa dan raga bapak ibu telah berpisah dengan mereka, namun mereka tetap mendoakan bapak ibu,” tandasnya. (*)

Penulis Fitri Wulandari. Editor Ichwan Arif.