Liputan

Wali Kelas Spemdalas Belajar Perkembangan Fase Remaja

55
×

Wali Kelas Spemdalas Belajar Perkembangan Fase Remaja

Sebarkan artikel ini
Ika PLPK
Direktur Pusat Layanan Psikologi dan Koseling SMA Muhammadiyah 10 GKB (Smamio) Gresik, Ika Famila Sari, M.Psi. Psikolog saat menyampaikan materi di acara In House Training (ITH) Wali kelas SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) GKB Gresik, Jumat (29/8/25).

Generasi Strawberry, menjadi gambaran bagi stereotipe ramaja yang indah, menarik, dan terkesan menggoda. Namun ternyata rapuh, lembek, dan mudah sekali hancur.

Selawe.com – Paham Perkembangan Fase Remaja menjadi tema In House Training (ITH) Wali kelas SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) GKB Gresik, Jumat (29/8/25).

Bertempat di ruang jelas VIII ICP Germanium, 27 wali kelas VII, VIII, dan IX mengikuti acara yang dimotori oleh Konselor Spemdalas.

Para peserta diajak untuk mengibaratkan proses untuk melihat temaja seperti melihat sesuatu menggunakan helikopter view oleh pemateri, yaitu Direktur Pusat Layanan Psikologi dan Koseling SMA Muhammadiyah 10 GKB (Smamio) Gresik, Ika Famila Sari, M.Psi. Psikolog

Ika menyampaikan bahwa remaja (adolesence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak-anak menuju masa dewasa.

“Bapak Ibu, masa ini merupakan masa badai dan tekanan karena pada masa ini mereka mengalami mood swing. Pada masa ini terjadi perubahan hormon, tekanan dari orang tua, tekanan dari lingkungan pertemanan, serta perubahan kebutuhan kasih sayang,” jelasnya.

Ditambahkan Ika bahwa masa remaja terbagi menjadi tiga fase, yaitu remaja dini usia 10-13 tahun, remaja tengah berkisar 13-17 tahun, dan remaja lanjut usia 17-22 tahun.

“Pada masa inilah terjadi krisis identitas diri. Jika mereka berhasil, mereka akan aman untuk melanjutkan pada fase selanjutnya. Sebaliknya, pama masa isi sangat rentan terjadi risiko mengalami gangguan mental (serangan pertama pada remaja),” katanya.

Seorang remaja dibentuk oleh faktor seperti latar belakang keluarga, kecerdasan, dan lingkungan. Ketiga ini ibarat sebuah pandai bagi tumbuh kembang seorang remaja.

Wacana Terkait Remaja

Ika menjelaskan dalam berbagai kajian, muncul beberapa wacana terkait remaja saat ini. Generasi Strawberry, menjadi gambaran bagi stereotipe ramaja yang indah, menarik, dan terkesan menggoda. Namun ternyata rapuh, lembek, dan mudah sekali hancur.

“Hal ini menggambarkan generasi yang sebenarnya kreatif, melek teknologi namun mudah tergerus atau hancur  ketika menghadapi tekanan,” ucapnya.

Stereotipe ini, lanjutnya, bisa terjadi karena pengaruh orang tua yang sering memanjakan. Para orang tua merasa perlu memberikan semua layanan untuk semua kebutuhan anak karena mereka tidak ingin  anaknya merasakan kesusahan seperti yang orang tua rasakan sebelumnya,” jelasnya.

Sebagai masyarakat digital yang sejak lahir sudah dekat dengan internet, remaja rentan mengalami paparan konten kekerqsan, pornografi, serta ketergantungan Internet.

“Sudah banyak studi yang menyatakan bahwa mengkonsumsi pornografi akan mengakibatkan kerusakan otak yang cukup fatal. Selain itu, muncul juga fenomena selfdiagnosis yang seharusnya tidak terjadi,” terangnya.

Menurut data yang dirilis Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyatakan bahwa 15,5 juta remaja atau 1 dari 3 remaja mengalami gangguan mental. Bahkan, 2,45 juta atau 1 dari 20 remaja terdiagnosis mengalami gangguan mental.

Beberapa kasus kesehatan mental pada remaja seperti fobia sosial, gangguan kecemasan umum, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stres pascatrauma (PTSD), dsn gangguan defisit perhatian/hiperaktivitas (ADHD).

“Data ini menjadikan kita harus semakin aware kepada remaja. Ada beberapa alternatif yang dapat kita wacanakan untuk mencegah adanya dampak yang memburuk,” katanya.

IHT Walas
Acara In House Training (ITH) Wali kelas SMP Muhammadiyah 12 (Spemdalas) GKB Gresik, Jumat (29/8/25).

Remaja Bertumbuh

Dia menuturkan, dalam hal ini peran orang tua menjadi poin penting dalam perkembangan. Usia 0-2 tahun perlu dibangun kedekatan dengan ibu. Pada usia ini, kedekatan fisik anak dan ibu terbagun pada  fase menyusui. Seorang ibu dapat mengajak bicara, mendoakan, dan memberikan kedekatan secara pribadi sehingga anak merasakan kenyamanan dan kasih sayang dengan baik.

Pada usia 3-6 tahun perlu dibangun kedekatan dengan kedua orang tua. Kegiatan bersama keluarga menjadi hal penting untuk dilakukan agar terbangun rasa memiliki, menghargai, serta kerja sama sebagai sebuah keluarga yang utuh.

Pada usia 7-10 tahun perlu dibagun kedekatan sesuai gender. Seorang anak perempuan perlu dekat dengan ibunya, sebaliknya anak laki-laki dekat dengan ayahnya. Kedekatan ini akan membuat mereka belajar dan paham hal-hal yang mereka lakukan dalam mempersiapkan diri menjadi laki-laki atau perempuan yang baik.

Pada usia 11-14 tahun, perlu dibangun kedekatan dengan orang tua dari gender yang berlawanan. Seorang anak perempuan perlu dekat dengan ayahnya, sebaliknya anak laki-laki perlu dekat dengab ibunya. Dari sini diharapkan akan tumbuh rasa menyayangi dan menghargai yang dapat mereka terapkan nantinya.

Dalam kaitan yang sama, pendidika dan penanaman akhlak, etika, dan berbagai norma perlu terus diberikan. Keluarga sebagai tempat tumbuh perlu membiasakan penerapan tiga hal tersebut. Di sisi lain, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal perlu terus menerapkan proses internalisasi nilai-nilai tersebut.

Ika juga berpesa bahwa tantangan sebagai wali kelas sebagai pendamping siswa di sekolah perlu dipahami. Perlu adanya materivseks education secara mendalam kepada siswa sehingga mereka memiliki figur tempat mereka dapat berdialog tanpa merasa dihakimi.

Pendekatan sebagai teman juga menjadi langkah konkret yang diperlukan remaja. Zaman saat ini memaksa remaja hidup di dua dunia, maya dan nyata. Remaja perlu aktualisasi diri sehingga mereka dapat aman berada di dunia tersebut.

“Yang tak kalah penting adalah, komunikasi intens denga orang tua. Sekolah perlu terus membuka komunikasi terkait perkembangan remaja. Komunikasi ini diharapkan menjadi komitmen bersama dalam mengantarkan remaja melewati fase krisisnya,” sambungnya.

Terakhir, tekannya, sekolah dapat menyediaka wadah energi remaja untuk berkumpul. Energi remaja yang kuat ini perlu terus didorong untuk disalurkan agar menjadi positif dan aman,” tandasnya. (*)

Penulis Fitri Wulandari. Editor Ichwan Arif.