Hantu Itu Bernama Literasi

Literasi
Literasi
Ilustrasi Opini Hantu Itu Bernama Literasi

Tidak dapat dipungkiri, literasi sering menjadi hantu gentayangan. Bahkan, lebih menakutkan. Seharusnya menjadi teman, sosok literasi dihindari, bahkan sekarang menjadi tokoh antagonis. Menjadi lawan.

Selawe.com – Hantu itu bernama literasi. Mungkin ada yang setuju dan tidak dengan judul tulisan ini. Tetapi, tidak dapat dipungkiri, literasi sering menjadi hantu gentayangan. Literasi begitu menakutkan.

Ketika ada kata literasi, maka yang ada di benak kita adalah buku tebal, berhalaman-halaman, dan membikin ciut nyali kita. Belum lagi, kalau kita hubungkan dengan dunia tulis menulis. Hantu itu tambah menakutkan. Mencekam.

Walaupun Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) berdasarkan tiga dimensi utama, yaitu frekuensi membaca, durasi membaca, dan jumlah buku yang dibaca menunjukkan grafik naik, tetapi lagi-lagi literasi kita belum bisa dikatakan aman-aman saja di negara kita.

TGM Indonesia mengalami kenaikan dari 26,5 tahun 2016, 36,48 tahun 2017, 52,92 tahun 2018, 53,84 tahun 2019, 55,74 tahun 2020, 59,52 tahun 2021, dan memuncak menjadi 63,9 tahun 2022.

Ilustrasi Opini Hantu Itu Bernama Literasi

Rendahnya literasi dan minat baca anak-anak Indonesia memang masih bermasalah di budaya literasi. Untuk itu, kita harus mengubah mindset kita bukan lagi menggelontorkan anggaran besar untuk membangun perpustakaan-perpustakaan baru, melainkan kita harus lebih menghadirkan perpustakaan di ruang-ruang sendi kehidupan bermasyarakat. Mulai pasar, terminal, pesawat, bus, kereta api, penjara, kafe, maupun mal.

Baca juga: Kala ‘Tanah Air’ menjadi Penawar Kekalahan

Kedua, kita harus melakukan sebuah gerakan literasi yang luwes dan lugas. Misalkan mewajibkan seluruh siswa membaca 15 menit hingga 30 menit sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai di pagi hari, serta mengintegrasikan literasi ke dalam pembelajaran. Bukan lagi sibuk dengan festival-festival literasi yang sifatnya seremonial.

Ketiga, kita harus membangun budaya literasi dengan apresiasi atau penghargaan atas kemajuan literasi peserta didik, membiasakan hadiah berupa buku, dan jadwal kunjungan rutin ke perpustakaan.

Tidak kalah penting lagi adalah membiasakan dan menugaskan anak untuk membaca. Melakukan kegiatan menulis setelah membaca atau meresume buku. Selain itu, tidak mendominasi proses pembelajaran dengan menerangkan melainkan dengan memberikan ruang dan penugasan membaca, melaksanakan bedah buku secara rutin, serta melibatkan semua stakeholder dalam membangun tradisi membaca.

Memang, tugas membangun budaya literasi ke anak tidak melulu tugas guru di sekolah, tetapi orang tua yang juga menjadi inspirator dan fasilitator anak-anak untuk memiliki minat dan budaya membaca. (*)

Penulis Ichwan Arif.

Share this:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *