
Motivator Ir. H. Misbahul Huda tekankan adab di atas ilmu dan self-leadership spiritual sebagai faktor utama kesuksesan anak di tengah tantangan era VUCA.
Selawe.com — Apa faktor utama yang menentukan kesuksesan seorang anak? Kecerdasan akademik, kemampuan finansial, atau justru kemampuan mengendalikan diri? Ir. H. Misbahul Huda, MBA, seorang motivator nasional, menjawab pertanyaan mendasar ini dalam kegiatan Halaqoh Ummah yang berlangsung pada Selasa (28/10) di Averroes Hall SD Muhammadiyah 1 GKB.
Misbah—sapaan akrabnya—membuka sesi pagi itu dengan melukiskan situasi zaman kini yang ia deskripsikan sebagai ‘VUCA’: Volatility (perubahan yang cepat), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleksitas), dan Ambiguity (ambiguitas). Ia menyederhanakan kondisi ini dengan satu kata: ruwet.
Keruwetan ini diperjelas Misbah dengan mengutip pernyataan Prof. Dr. Muhammad Nur, “Tantangan kehidupan keluarga, termasuk anak-anak di masa kini adalah akselerasi pertumbuhan anak sangat cepat, sementara kemampuan orang tua dan guru dalam mengimbangi tingkah polah anak tumbuh lambat.”
Akibatnya, semakin modern, semakin banyak orang tua yang gagap menghadapi perkembangan dan tingkah polah anak-anak mereka.
Misbah mengilustrasikan perubahan ini secara gamblang. Dahulu, orang tua merasa aman bila anak-anak berada di dalam rumah. Namun, kini situasinya berbalik. Anak-anak yang berada di dalam kamar justru tidak mendengar panggilan orang tua karena telinga mereka tertutup earphone.
Perubahan juga terjadi dalam pergaulan. Jika dahulu anak-anak akan aman selama tidak terlalu dekat dengan lawan jenis, di zaman sekarang banyak anak yang justru menjadi terlalu dekat dengan sesama jenis.
Misbah juga menyinggung dunia pendidikan. Dahulu, anak-anak dinilai cukup tahan banting menerima teguran tegas dari orang tua. Namun, kini, tak sedikit anak muda yang melakukan self-harm (percobaan menyakiti diri) karena merasa di-bully oleh orang tua sendiri.
“Ini karena banyak orang tua yang tidak sengaja meniru cara orang tua mereka menegur dan mendidik mereka di masa lalu. Sementara zamannya sudah berbeda, generasinya sudah berbeda,” jelas Misbah.
Generasi saat ini, menurut Misbah, dijuluki generasi stroberi—tampak indah di luar, tetapi rapuh (mudah tersinggung dan terbawa perasaan). Oleh karena itu, orang tua diharapkan mampu beradaptasi dalam menghadapi putra-putri mereka.
“Apa yang selama ini orang tua berikan—kasih sayang, pendidikan yang layak, keinginan yang dituruti—tidak dapat dirasakan oleh anak. Apa yang salah di sini? Love language-nya,” ujar Misbah.
Banyak orang tua memberikan kasih sayang, tetapi tidak sesuai dengan harapan anak. Hal inilah yang menjadi penyebab kasih sayang tersebut kurang bisa dirasakan. Misbah kemudian mengingatkan para peserta halaqah untuk selalu belajar, bukan demi menjadi paling pintar, melainkan agar menjadi lebih bijak dan lebih mendengarkan anak.
Self-Leadership Spiritual Kunci Utama
Mengantar anak berakhlak mulia tidak hanya membutuhkan modal fisik atau material. Tetapi juga spiritual, yaitu menghadirkan Allah dalam setiap langkah hidup.
“Bila anak merasa Allah hadir, maka ia akan semakin percaya diri dalam beramal dan berakhlak mulia, karena merasa dilihat oleh Allah,” kata Misbah.
Misbah menilai hal ini penting dilakukan. Jika spiritualitas anak tidak kokoh, mereka belum tentu bisa lulus melewati ujian-ujian kehidupan, meskipun memiliki kecerdasan dan materi yang lebih dari cukup.
“Ukuran sukses adalah matang spiritual,” tegas Misbah.
Misbah lantas mengungkapkan bahwa cerdas menurut Rasulullah bukanlah dari aspek intelektual, melainkan aspek spiritual. Kecerdasan ini dapat terlihat melalui kemampuan mengendalikan akhlak dan adab, yang dapat pula disebut sebagai self-leadership (kepemimpinan diri).
“Faktor yang paling menentukan kesuksesan adalah self-leadership berbasis spiritual, atau kalau di sini disebut berakhlak mulia,” tandasnya.
Faktor-faktor lain seperti kecerdasan intelektual dan sekolah yang bagus memang memberikan kontribusi, tetapi bukan yang utama. Di masa kini, banyak orang harus diberhentikan dari pekerjaan bukan karena masalah kemampuan akademik, melainkan kemampuan berkomunikasi atau bersikap.
“Latar belakang IT ataupun pendidikan bukanlah jaminan untuk sukses. Itu adalah hasil risetnya,” lanjut Misbah.
Misbah melanjutkan, “Anak yang berprestasi mengharuskan orang tua untuk menemukan passion anak tersebut, bukan memberinya tuntutan.” Sayangnya, banyak orang tua tidak memiliki “kacamata” untuk menemukan passion anak, sebab passion itu ada, namun terpendam.
Misbah menyampaikan slogan “Passion with compassion” karena proses menemukan passion harus dilakukan dengan penuh kasih sayang, bukan dengan paksaan atau tekanan. Setelah passion ditemukan, orang tua dan anak perlu mencari guru atau mentor yang dapat membina. Dengan demikian, anak tersebut akan dapat melejit berprestasi.
Misbah kemudian meminta peserta halaqah untuk mengamati putra-putri mereka melalui beberapa pertanyaan reflektif: “Apa yang dikerjakan anak Anda?” “Apa yang ia bicarakan?” “Apa yang ia kuasai?” “Apa yang ia miliki/koleksi?”
Setelah menemukan jawaban dari masing-masing pertanyaan tersebut, Misbah meminta peserta halaqah untuk menarik benang merah yang dapat menentukan hal yang menjadi passion anak.
Sinergi Orang Tua dan Sekolah Kunci Adab
Lebih lanjut, Misbah memperingatkan para orang tua untuk tidak membandingkan anak-anak mereka. “Pamali,” katanya. Membandingkan dapat membuat anak merasa sakit hati, bahkan depresi. Sementara itu, perasaan tertekan dapat menghambat seseorang meraih prestasi.
Misbah juga menyampaikan bahwa orang tua dan guru perlu bersinergi dengan tujuan membangun adab. Guru yang memiliki ilmu harus ikhlas menurunkan ilmunya, dan siswa harus tawadu’ (rendah hati) dalam menerima ilmu tersebut.
“Sebab bila tidak bisa tawadu’ kepada guru, maka ilmu yang dipelajari anak tidak akan sampai ke hati, hanya ‘nyantol’ di telinga dan pikiran saja’,” jelasnya.
“Jika kita sepakat adab di atas ilmu, saat raporan jangan tanya nilai ataupun ranking, tetapi tanyakan adab anak,” lanjut Misbah.
Misbah juga mengungkapkan bahwa kolaborasi antara orang tua dan sekolah memegang peran yang sangat penting. Orang tua dan wali kelas diharapkan saling jujur dalam menyampaikan perkembangan anak.
“Kalau di rumah anak kita salatnya masih bolong-bolong, tidak beradab, maka tidak perlu sungkan untuk membuka kekurangan anak kita kepada wali kelas, jangan ditutupi,” tegasnya.
Sinergi yang baik antara orang tua dan guru menjadi sangat penting untuk mengawal akhlak anak. Bila ada kekurangan, orang tua tidak perlu menutupinya, tetapi justru membenahinya selagi anak masih kecil.
“Trust is good, but control is better,” tutup Misbah. Kepercayaan itu bagus, tetapi kontrol itu lebih baik untuk menjaga dan membenahi adab anak-anak. Kontrol tersebut dapat diwujudkan melalui kerja sama dan sinergi yang baik dengan guru di sekolah. (*)
Penulis Septemdira Intan Sari Suprobowati Editor Sayyidah Nuriyah










